Ternyata tak punya televisi-pun tetap baik-baik saja. Masih banyak kegiatan positif yang dapat dilakukan bersama anak-anak dan pasti lebih sehat, seperti berolahraga, bersilaturahim ke rumah kerabat, juga bermain di alam terbuka.
Siapkah kita meninggalkan televisi? Aku dan suami punya pengalaman menarik : selama hampir 15 tahun tak memiliki televisi. Benda berbentuk kotak, dari ukuran layar 14 inci hingga ‘home theater’, flat atau cembung. Sahabat, televisi adalah benda kecil penuh tombol ‘remote controle’. Bayi usia setahunpun kerap menekan tombol-tombolnya. Sebab apa? Dia tahu jika tombol ditekan layar akan menampilkan gambar berpendar-pendar, suara hingar bingar, dan orang-orang yang lebih tua darinya menjadi terpana berjam-jam.
Salahkah jika balita kita menjadi kecanduan menonton televisi? Toh, kita pula yang mengajarkan mereka kebiasaan buruk itu! Lalu apa yang harus kita lakukan? Karena kami sangat tahu program televisi 90% lebih tak layak ditonton anak-anak kami. Anak pertama lahir tahun 1996 dan anak kedua lahir tahun 2000. “Kasian deh kamu! Ibu kamu gak gaul. Masa kamu gak punya tv”, komentar teman-teman anakku kerap disampaikan untuk merayu kami membeli televisi.
Waktu menikah aku diberi hadiah televisi oleh seorang kerabat. Namun sudah waktunya masuk gudang, maklum televisi edisi jadul mungkin ada komponen yang rusak dan aku tak mau membetulkannya ke tukang servis hi3 …
Aku dan suami berjuang menyiasati hal tersebut. Buku! Ya … Sama-sama benda kotak. Berlembar-lembar halamannya juga penuh gambar, berwarna, dengan tulisan cerita yang sangat menarik. Saat anakku belum bias membaca. Maka kamilah ‘annoucher’ layaknya pembawa berita di televisi. Kami belajar ’story telling’ dan berperan seperti aktor dan aktris sinetron. Atau kami mencari gaya terbaik agar menarik serupa tokoh-tokoh kartun Nobita, Doraemon, Naruto, Avatar, Bart Simpson, dan sebagainya.
Setelah mereka bisa membaca. Wow … Jumlah buku kami melonjak cepat, karena mereka sangat lahap menyantap berbagai bacaan yang ada. Kecepatan membacanya membuat kami harus menyediakan anggaran khusus agar dapat membeli buku-buku bagi mereka. Ini pilihan hidup! Jika anak lain pergi ke mal minta makan KFC, MC Donald, Texas, Baskin and Robin, atau mainan mobil dan robot. Anak-anak mengajak kami duduk bahkan ndeprok berjam-jam di toko buku. Lalu pulang dengan masing-masing membawa satu buku.
Nah … Cerita ini berlanjut menjadi momen yang mengharukan. Saat kami pindah ke sebuah perumahan tipe 21/72 dan bertetangga dengan keluarga-keluarga muda (anak-anak mereka usia balita / SD) anakku berkata, “Bu … kasihan deh! Masa teman-temanku gak punya buku cerita.” “Kenapa kasihan?” tanyaku. “Katanya buat makan dan bayaran sekolah aja susah. Mana bias beli buku”. Lanjut anakku. “Trus gimana dong?” tanyaku memancing ide mereka. “Buat perpustakaan aja Bu. Buku-buku kita boleh dibaca sama mereka. Gratis!” sambung mereka antusias.
Ya! Jadilah perpustakaan mungil di ruang tamu kami. Namanya ‘read’s house kindly’. Artinya rumah baca yang penuh kasih sayang. Lalu terjadilah multiplayer effect. Dulu, posyandu di lingkungan kami hanya menimbang, memberi makanan tambahan, dan imunisasi bagi balita. Kini, dua hari dalam seminggu ada kelas balita bermain sambil belajar. Daya tarik utamanya buku cerita bergambar milik anak-anakku.
Di garasi rumahku mereka lesehan bahkan tengkurap, asyik membuka buku. Sesi berikutnya baru diajak menggambar, menyanyi, menari, melipat, berhitung, menusun balok, membentuk plasitin, bertanam, bermain peran, atau berbasah-basahan dengan hujan buatan dari kran. Ibu-ibu yang mengantar tak sempat ngerumpi. Setumpuk majalah, koran, dan tabloid juga buku-buku kecil berisi informasi agama, kesehatan, dan pendidikan membuat mereka lebih tertarik untuk membaca. Jika belum selesai, buku boleh dipinjam selama satu minggu. Paling laris tentu buku resep masakan. Aku paling senang bila di kirimi hasil uji coba mereka.
Kesimpulannya, jika kita tak punya televisi kita tak akan mati kehabisan informasi. Masih ada buku, koran, dan radio. Kalaupun perlu punya televisi bersiaplah untuk berjibaku menahan rayuan gombalnya. Sesi berita tak lebih dari 10% dari seluruh rangkaian program televisi. Jadi bersiaplah menyusun menu diet bagi keluarga kita. Agar tak mengalami obesitas kegemukan yang tak sehat akibat terlalu sembrono mengkonsumsi siaran televisi. Tentu untuk sehat perlu perjuangan. Bukankah sehat itu

…
Artikel menarik lainnya bisa dibaca di link berikut: