Romansa Kisah Cinta Nyai dan Ngkus

Standar

Menjelang Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus, tentu kita sebagai anak bangsa kembali bersemangat menilik sejarah. Tahun ini aku tetiba teringat dengan kisah perjuangan seorang perempuan luar biasa. Dalam buku ‘Perempuan-perempuan Pengukir Sejarah’ karya Mulyono, salah satu tokoh hebat itu bernama Inggit Garnasih yang dilahirkan pada 17 Februari 1888 di Desa Kamasan, Kabupaten Bandung.

Kisah cinta Nyai dan Ngkus juga patut dikenang sebagai cinta yang penuh pengorbanan, kesetiaan, dan puncaknya adalah keikhlasan, bahwa cinta tak selamanya harus memiliki.
Cinta sejati tak lekang oleh waktu.

Panggilan Cinta

Nyai adalah nama panggilan kesayangan dari Soekarno untuk perempuan yang dicintainya. Sedangkan Inggit memiliki panggilan sayang Kus atau Ngkus kepada suaminya yang memiliki nama kecil Kusno. Aku ingin menggabungkan kisah cinta, masa perjuangan kemerdekaan, dan ITB untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog (MGN). Bulan ini MGN mengajak Mamah semua untuk menulis tentang satu hal yang membuat Mamah bersemangat: Cerita Cinta.

Soekarno lahir 6 Juni 1901 di Peneleh Surabaya. Soekarno menjadi mahasiswa di THS tahun 1922.

Soekarno bertanya, “Sakit apa, Nyai?”
Inggit hanya menjawab singkat, ”Biasa Ngkus, penyakit rakyat”

Medio 1960 saat Inggit sakit.
Soekarno dan Inggit. Sumber: wikipedia.org

Inggit dan Soekarno pun menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung. Soekarno yang saat itu sedang studi di Technische Hoge School (THS) −saat ini adalah Institut Teknologi Bandung (ITB)−. Pada  surat pernikahan tersebut tertulis usia Soekarno adalah 24 tahun saat menikah dan Inggit 23 tahun. Padahal sebenarnya, Soekarno 22 tahun dan Inggit 35 tahun. 

Soekarno bersama teman akrab semasa menjadi mahasiswa di THS atau ITB tahun 1923.

Para Mamah kesayangan member of MGN tentu bisa merasakan bagaimana suka duka saat kuliah di ITB. Berat … bahkan berat sekali. Pada laman IG ITBreceh ada plesetan yang menyebutkan ITB adalah singkatan dari institut tidak bobo he3 … Saking banyaknya tugas hingga begadang adalah hal lumrah. Betapa nikmatnya setelah lulus bisa bobo 8 jam sehari karena waktu kuliah kadang tidak bobo sama sekali.

Rela Berkorban Demi Cinta

Merenungkan jejak kisah cinta Inggit pada Soekarno, bukan sekadar istri. Namun, lebih dari itu, dia menjelma sebagai sosok  ‘ibu’, kekasih, sekaligus sahabat terdekat dalam perjuangan. Perpaduan karakter perempuan hebat ini mencerminkan maternalitas dan feminitas. Inggit hadir pada saat-saat yang paling menentukan dan mampu menjadi tempat berbagi kala Soekarno dilanda kesulitan.

Kala Soekarno muda yang gigih mengemukakan pikiran-pikiran tentang nasionalisme dan kemerdekaan bangsa, Inggit menjadi tempat aman dan nyaman bagi Soekarno. Saat Soekarno didera kegelisahan, Inggit juga mampu meredakannya dengan kasih sayang dan kedewasaan.

Inggit yang menikahi seorang lelaki yang masih kuliah, tentu sadar betul bahwa suaminya tidak memiliki penghasilan. Meski Soekarno menerima kiriman uang dari orang tuanya setiap bulan. Uang tersebut hanya cukup untuk biaya kuliahnya. Inggit merasa berkewajiban ‘mengemong’ Soekarno supaya cepat meraih gelar sarjana. Salah satu kesulitan dan kegelisahan itu bermula saat Soekarno berjuang menamatkan kuliah di THS.

Kala itu Soekarno tak punya biaya yang cukup. Inggit berjuang dengan berjualan jamu untuk membiayai kuliah Soekarno hingga menyandang gelar insinyur. Saat itu, dengan bangga, Inggit mengatakan, ”Aku merasa, aku bukan perempuan sembarangan. Aku telah membuktikannya. Aku selamat mendampinginya sampai di tempat yang dituju. Tujuan yang pertama tercapai sudah. Dia lulus dengan membuat sebuah rencana pelabuhan dan meraih gelar insinyur sipil (Ramadhan K.H., 2002).”

Pada Dies ke-6 tanggal 3 Juli 1926, dari 22 orang kandidat insinyur yang lulus berjumlah 19 orang dengan 4 orang di antaranya adalah pribumi. Saat itulah untuk pertama kalinya THS menghasilkan insinyur orang Indonesia. Salah satu dari keempat orang itu adalah Soekarno: Bapak Proklamator sekaligus Presiden pertama Republik Indonesia.

Sejarah mencatat, tak bisa dibantah lagi bahwa keberhasilan Soekarno dalam meraih gelar insinyur tidak lepas dari jasa Inggit. Soekarno bahkan mengakui kalau ia berhutang budi kepada Inggit yang tak terlunaskan seumur hidupnya. Inggit adalah ratu di hati Soekarno. So sweet ya Mah …

Buku warisan dari Bapa berjudul ‘Di Bawah Bendera Revolusi’.

Aku punya buku langka berjudul ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ berisi puluhan artikel karya Soekarno. Beragam media massa seperti Suluh Indonesia Muda, Fikiran Ra’jat, Pandji Islam, Pemandangan, dan Pembangun telah menerbit karya tersebut dari tahun 1926 hingga tahun 1941. Masa itu tentu Soekarno dan Inggit sedang membina rumah tangga dan berjuang bersama-sama dalam masa penjajahan Belanda yang sulit. Masuk penjara dan pembuangan ke luar Jawa dijalani bersama dengan bekal cinta dan kesetiaan Inggit kepada Soekarno.

Salah satu karikatur di media massa Fikiran Ra’jat tahun 1932. Sepertinya gambar itu adalah Soekarno dan Inggit.

Kesetiaan Atas Nama Cinta

Pada tahun 1927, Inggit menjadikan rumahnya sebagai tempat deklarasi berdirinya organisasi politik Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Soekarno ditangkap polisi Belanda pada 29 Desember tahun yang sama dan dimasukkan ke penjara Banceuy Bandung. Dengan beragam taktik, Inggit berhasil masuk penjara untuk mengirimkan pesanan Soekarno seperti uang, makanan, koran, dan buku. Inggit rela berpuasa selama tiga hari agar bisa menyelipkan buku di dalam kain kebaya yang dikenakannya. Dari perjuangan itulah, lahir teks pidato Indonesia Menggugat.

Aku mengunjungi penjara Banceuy tempat Soekarno ditahan Belanda.

Atas putusan pengadilan, Soekarno dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Saat itu Inggit menyambung hidup dengan menjahit baju serta menjual kutang, bedak, rokok, sabun, dan cangkul. Selama Soekarno dibui, ia juga berperan sebagai perantara agar suaminya dapat terus berhubungan dengan para aktivis pergerakan nasional lainnya.

Soekarno setelah keluar dari penjara Sukamiskin Bandung tahun 1931.

Kesetiaan Inggit kepada Soekarno juga terbukti kala ia menjual segala miliknya, termasuk rumah keluarga dari ibunya, kala Soekarno diasingkan ke Ende Flores tahun 1933. Selama lima tahun, Soekarno bersama Inggit hidup dalam pembuangan. Pada tahun 1938, mereka pindah ke Bengkulu karena Soekarno terserang malaria. Inggit tetap setia mendampingi Soekarno.

Soekarno dan Inggit berangkat ke Ende Flores menjalankan masa pembuangan oleh Penjajah Belanda.
Foto kenangan di pembuangan Ende Flores tahun 1936.
Soekarno di pembuangan Bengkulu tahun 1939.

Cinta Telah Terkoyak

Selama 20 tahun, Inggit setia mendampingi Soekarno. Akhinya Inggit pun melepaskan Soekarno yang dicintainya kepada Fatmawati dan meminta untuk dipulangkan ke Bandung. Mereka resmi bercerai pada 29 Januari 1943 dengan perjanjian di bawahnya berupa jaminan hidup dan tunjangan yang disaksikan oleh Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H Mas Mansoer. Inggit berbesar hati melepas Soekarno yang ingin memperoleh keturunan untuk menikahi Fatmawati. Inggit tidak bersedia dimadu, begitu pula Fatmawati.

Bercerai adalah jalan pedih dan pahit tapi sekaligus solusi yang melegakan, meskipun Soekarno tidak menginginkannya. Inggit tetap teguh pada pendiriannya. Ia juga tak menikah lagi hingga akhir hayat.

Cinta Tak Harus Memiliki

Hikmah dari kisah cinta Nyai dan Ngkus adalah keikhlasan, bahwa cinta tak selamanya harus memiliki.
Cinta sejati tak lekang oleh waktu.

Hingga usia senja, Soekarno tetap mengingat Inggit. Bahkan, saat Inggit terbaring sakit, Soekarno datang mengunjungi. Kala itu Soekarno bertanya, ”Sakit apa, Nyai?” Inggit hanya menjawab singkat, ”Biasa Ngkus, penyakit rakyat” (Nuryanti, 2006).

Siapa sangka, pertemuan pada 1960 itu menjadi percakapan terakhir. Sepuluh tahun kemudian, pada 21 Juni 1970, Soekarno wafat. Dengan badan ringkih, Inggit datang ke Jakarta untuk melihat jasad Soekarno terakhir kalinya. Saat itu terdengar suara sayu Inggit, ”Ngkus, geuning Ngkus teh miheulaan, ku Nggit didoakeun…” (Nuryanti, 2008). Saat Fatmawati hadir melalui karangan bunga, Inggit datang dengan raga dan doa.

Terdengar suara sayu Inggit, “Geuning Ngkus teh miheulaan, ku Nggit didoakeun…”

Medio 1970 saat Soekarno wafat,

Inggit meninggal dunia pada 13 April 1984 pada usia 96 tahun dan dimakamkan di TPU Caringin, Bandung. Tugasnya menemani Soekarno dan baktinya untuk negaranya selesai hari itu. Di tengah kerimbunan pohon dan sejuknya Bandung, si geulis ini beristirahat selamanya. Selain itu, demi mengenang jasanya maka kediamannya dijadikan museum dan Jalan Ciateul diganti menjadi Jalan Inggit Garnasih.

Satu tanggapan »

  1. Aku banyak ga taunya cerita cinta antara Nyai dan Ngkus ini. Tapi setelah membaca tulisan ini jadi bertanya-tanya, kalau umur mereka berbeda, mereka bertemunya di mana ya kira-kira. Dan bagaimana seorang seperti Nyai dan Ngkus ini apa ga ditentang keluarga besar ya menikah beda usia dan beda suku? Hehehe..

    Sekarang ini kan kalau beda usia dikit aja suka banyak yang ngomngin, beda suku juga suka banyak yang komentarin mulu, nah kan jadi penasaran bagaimana kira-kira romansa sebelum mereka akhirnya mendapat restu menikah. Ini kayak lagi mencari cerita prequel nih aku, hehehe…

    • romansa pertemuan Soekarno dan Inggit juga menurutku tak biasa di jamannya: jadi Soekarno : mahasiswa ITB yang tinggal ngekos di rumah ibu Inggit yang suaminya adalah sahabat dari bapak mertua Soekarno (sudah menikah dengan Siti Oetari, wanita yang lahir di Ponorogo pada tahun 1905 yini merupakan putri dari HOS Tjokroaminoto).
      Soekarno yang sudah beristri dan ibu Inggit yang bersuami ternyata saling jatuh cinta. … : dan suami ibu Inggit rela menceraikan istrinya untuk menikah dengan Soekarno, juga Soekarno menceraikan istrinya dan dikembalikan kepada orangtuanya. rumit juga ya teh Risna …

      • Wow wow wow, iya rumit ya ternyata ceritanya. Hebat tapi beliau ga kena komentar netizen, eh tapi dulu mah blum ada netizen hehehe

  2. Masya Allah. Jika di dunia fiksi, kisah cinta sejati dipegang oleh pasangan Romeo-Juliet; menurut saya, di kisah nyata, Bung Karno dan Bu Inggit -lah simbolnya.

    Terharu membacanya, Teh Dewi, saya pun baru tahu sebegitu besar pengorbanan Bu Inggit terhadap suaminya, dan menjadi peran penting dalam kemerdekaan negara kita juga.

    Terimakasih atas jasa-jasamu, Bu Inggit, semoga husnul khotimah…
    ***
    Dan terimakasih juga Mba Dewi sudah menceritakan kisah ini… 😦 *mbrebes…

    • iya teh Uril … ini kisah cinta yang unik, epik, dan legendaris menurutku. dari mula berjumpa, beda usia, masing-masing juga sedang punya pasangan … ya rumit juga ya ternyata. semoga yang baik-baik menjadi teladan kita bersama … sedangkan yang kurang pas ya ditinggalkan saja.

      salam merdeka

  3. Kayaknya dulu saya pernah baca di majalah tempo atau apa gitu pernah ada liputan tentang Ibu Inggit (dan istri-istri lainnya). Kalau Soekarno dan Ibu Inggit hidup di jaman now pasti udah viral bgt kisah cintanya 😀

  4. Menarik teh Dewi. Selama ini sepertinya banyak terfokus istri Soekarno itu Dewi dan Fatmawati. Aku kebetulan ngga banyak tahu tentang sosok Inggit. Aku rasa sebagai istri harus banyak belajar ke beliau ya, ikhlas dan dedicated sama suami walau keadaan sulit

    • iya teh Andina … ibu Inggit malah seperti dilupakan karena memang bercerai dan tidak memiliki anak. sedangkan ibu Fatmawati ada keturunan dan terangkat sebagai penjahit bendera merah putih untuk dikibarkan saat 17 Agustus 1945. Tak banyak yang tahu bahwa Bung Karno muda dengan ide, pikiran, dan gagasan nasionalismenya serta masa mahasiswa di ITB ini didukung penuh oleh ibu Inggit.menikah hampir 20 tahun tanpa ada wanita lain loh … monogami.
      menarik memang kisah ini … setelah itu Bung Karno menjalani perkawinan poligami.

  5. Masya Allah teh, aku baru tau tentang cerita ini.. begitu membuat haru dan tentunya penuh dengan perjuangan ya.. terima kasih sudah menuliskannya ya teh, aku jadi tambah tahu tentang sejarah.. ❤

    • hatur nuhun teh Riesty sudah mampir membaca: di artikelku tak cukup untuk menuliskan juga pandanganku bahwa saat menjalani perkawinan dengan ibu Inggit ini Bung Karno hanya punya seorang istri: monogami,

      Setelah bercerai dan menikah dengan ibu Fatmawati, mulai Bung Karno berpoligami dan para istrinya mau dimadu (walau dalam kisahnya bu Fat keluar dari istana karena tidak setuju dimadu, tapi tidak minta cerai).

  6. Menurutku Pak Karno dengan sekian banyak cerita cintanya memang unik. Terus terang saya salut dengan bagaimana beliau mampu benar-benar menunjukkan cintanya ke setiap perempuan yang pernah menjadi pasangannya. Dan semua perempuan-perempuan ini bisa merasa begitu spesial dan dicintai sepenuh hati, bahkan sampai akhir hayat mereka. Pak Sukarno benar-benar punya daya pikat yang luar biasa.

    Nice sharing Mbak Dewi.

    • he3 … iya ya … aku sih sempat mikir bahwa ibu Inggit lebih tegas menolak praktek poligami, beliau minta cerai jika Bung Karno menikah lagi. Saat menikah pun dulu Bung Karno menceraikan dulu istri pertamanya, ibu Oetari, barulah menikah dengan ibu Inggit.

      waktu ibu Fatmawati menikah dengan Bung Karno sebenarnya kan dia tahu ya sudah beristri: nah … ini mengganjal sih, kenapa mau dengan laki-laki beristri? tapi alasan Bung Karno ingin memiliki keturunan itulah yang membuat ibu Inggit memilih mundur dan mempersilakan Bung Karno menikahi bu Fat.

      berbeda sikap bu Fat yang memilih meninggalkan istana (tanpa minta cerai) ketika Bung Karno menikah lagi … lagi: dan menjalankan perkawinan poligami.

Tinggalkan Balasan ke dewi laily purnamasari Batalkan balasan