Orange Juice for Integrity : Koruptor Versus Orang Jujur

Standar

Percakapan di Telegram Group MGN, pada akhir April dan awal Mei tentang koruptor menggelitik sekali. Ada infografis yang berisi fakta sidang aliran dana Kementerian Pertanian ke SYL dan keluarga. Aku berusaha membongkar file lama di blog dan google drive tentang korupsi. Miris … Sekaligus tertantang untuk menaklukkan Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Mei yang bertema perbandingan (versus)’.

Belajar Anti Korupsi

Korupsi kian menjadi dan seolah berakar sangat dalam. Begitulah kesan yang aku tangkap saat membaca dan mempelajari berita kerugian negara di bidang ekologis sebesar 271 triliun rupiah dari kasus korupsi pertambangan timah ilegal di Pulau Belitung. Aku teringat buku karya Andrea Hirata yang berjudul ‘Laskar Pelangi’. Kisahnya membuatku jadi melek bagaimana ketimpangan terjadi di sana. Pegawai dan petinggi perusahaan timah versus rakyat biasa sangat jomplang baik di bidang ekonomi, sosial, maupun pendidikan.

Sekarang masih saja berlangsung praktik eksploitasi alam yang merugikan rakyat dan membuat kaya raya segelintir pejabat bersama kroninya. Hal itu menimbulkan pertanyaan, adakah korupsi ini merupakan budaya yang diwariskan para pendahulu kita? Apakah korupsi adalah warisan sejarah? Apakah kita memang anak cucu koruptor?

Aku berpendapat, korupsi bukanlah warisan. Kita juga bisa memilih untuk tidak menjadi koruptor. Mencari teladan, dalam hal apa pun, bukan perkara gampang. Dalam urusan melawan korupsi pun begitu.

Apa sajakah sembilan nilai anti korupsi yang juga dikenal dengan sembilan nilai integritas. Kesembilan nilai itulah yang bisa dijadikan tolak ukur oleh kita dalam menilai seorang tokoh, apakah bisa dijadikan teladan dalam melawan korupsi atau tidak. Semakin banyak nilai integritas seseorang dan semakin pantas untuk dijadikan teladan dalam pemberantasan korupsi.

Nilai-nilai tersebut adalah:

  • Jujur : Lurus hati, tidak berbohong, tidak curang.
  • Peduli : Mengindahkan, memperhatikan atau menghiraukan orang lain.
  • Mandiri : Tidak bergantung kepada orang lain.
  • Disiplin : Taat terhadap peraturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
  • Tanggung jawab : Siap menanggung akibat dari perbuatan yang dilakukan, tidak buang badan.
  • Kerja keras : Gigih dan fokus dalam melakukan sesuatu, tidak asal-asalan.
  • Sederhana : Bersahaja, tidak berlebih-lebihan.
  • Berani : Mantap hati dan percaya diri, tidak gentar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dan sebagainya.
  • Adil : Berlaku sepatutnya, tidak sewenang-wenang.

Belajar Jujur dari Tokoh di Buku Orange Juice for Integrity

Sore yang panas dan lembab di Jakarta tidak menyurutkan semangatku untuk mencari buku berjudul ‘Orange Juice for Integrity’ yang berada di perpustakaan keluarga. Aku pernah membuat vlog tentang buku yang diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk setoran KBK KLIP tahun lalu. Entah nyempil di mana ya? Duh … Bukunya tipis saja bersampul putih dengan tulisan berwarna jingga dan selusin foto tokoh bangsa sebagai inspirasi untuk kita belajar tentang integritas. Belajar tentang jujur. Mereka bukan tak mampu, tapi tak mau.

Akhirnya … Buku setebal 88 halaman yang dicetak pada tahun 2016 ini ditemukan juga. Waaahhh … Lega rasanya. Adapun tokoh yang ditulis dalam buku ini adalah: H. Agus Salim, Baharuddin Lopa, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Hoegeng Iman Santoso, Ki Hajar Dewantara, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Saifuddin Zuhri, Sjafruddin Prawiranegara, R. Soeprapto. Ir. Soekarno, dan Widodo Budidarmo.

Melihat infografis di atas apa yang teman-teman pembaca rasakan? Marah! Ya … Betapa uang rakyat dikorupsi oleh pejabat. Koruptor adalah penjahat yang sudah seharusnya mendapatkan hukuman berat.

Haji Agus Salim mengatakan, “Leiden is lijden, memimpin adalah menderita.” Mana bisa pemimpin bersenang-senang di atas penderitaan rakyat. Pastinya Agus Salim akan sedih melihat kelakuan SYL yang membuat rakyat menderita.

Willem Schermerhorn, seorang pejabat Belanda, dalam Het dagboek van Schermerhorn (Buku Harian) mengomentari, “Orang tua yang sangat pandai ini adalah seorang yang genius. Ia mampu berbicara dan menulis secara sempurna sedikitnya dalam sembilan bahasa. Kelemahannya hanya satu: ia hidup melarat.” Berbeda 180 derajat dengan para pejabat yang hidup bergelimang kekayaan dari hasil korupsi. Agus Salim yang bersahaja dan rela menderita dalam kepahitan hidup sebagai diplomat ulung yang jasnya berhias beberapa jahitan di sana-sini. Keberadaannya sangat mudah dibedakan dan kontras dari para diplomat lain yang berdandan necis.

Konon, menjadi polisi sudah menjadi cita-cita masa Hoegeng Iman Santoso. Kisah menarik ketika Hoegeng mendapat kejutan besar berupa barang-barang mewah di rumah dinas yang akan ditempatinya sebagai Kepala Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Sumatera Utara pada tahun 1956. Dia tidak mau menerima dan bersikeras untuk tetap tinggal di hotel jika barang-barang mewah itu masih ada di sana. Hoegeng dan keluarga baru mau pindah jika rumah hanya diisi barang-barang inventaris kantor. Pada akhirnya, Hoegeng mengeluarkan semua barang mewah itu ke tepi jalan.

Bagi Hoegeng, keberadaan barang-barang mewah itu sangat mencurigakan. Pasalnya mereka tidak mengenal siapa pun di tempat baru tersebut. Belakangan diketahui, barang-barang itu berasal dari bandar judi yang hendak menyuapnya.

Barang mewah yang menjadi bukti saat operasi tangkap tangan kepada EP seperti jam tangan Rolex, tas Tumi, tas Luis Vuitton, dan baju Old Navy menjadi penegas bahwa koruptor itu dekat dengan gaya hidup hedonis.

Seharusnya para pejabat belajar dari Mohammad Hatta. Jujur, sederhana, dan teguh memegang prinsip. Begitulah kepribadian Hatta. Ada kisah menarik yang diceritakan oleh Mahar Mardjono, “Pada tahun 1970-an, Hatta berobat ke luar negeri. Waktu singgah di Bangkok dalam perjalanan pulang ke Jakarta, Hatta bertanya kepada sekretarisnya, jumlah sisa uang yang diberikan pemerintah untuk berobat. Ternyata sebagian uang masih utuh karena ongkos pengobatan tak sebesar dari dugaan. Segera Hatta memerintahkan mengembalikan uang sisa itu kepada pemerintah via Kedubes RI di Bangkok.”

Hatta melakukan itu karena tak ingin meracuni diri dan mengotori jiwanya dengan rezeki yang bukan haknya. Dia selalu teringat pepatah Jerman, Der Mensch ist, war es iszt, sikap manusia sepadan dengan cara mendapat makan.

Demikian halnya dengan Baharuddin Lopa yang sangat berhati-hati dan cermat. Bagi dia, tak ada urusan sepele. Tak terkecuali soal bensin di mobil yang dipakainya. Suatu ketika, Lopa mengadakan kunjungan ke sebuah kabupaten di wilayah kerjanya. Dalam perjalanan pulang, Lopa tiba-tiba bertanya kepada ajudannya, “Siapa yang mengisi bensin?” Si ajudan berkata jujur, “Pak Jaksa, Pak!” Lopa langsung menyuruh ajudannya memutar mobil dan kembali ke tempat semula untuk meminta jaksa tersebut menyedot kembali bensinnya sesuai dengan jumlah yang diisikannya.

Segala sesuatu harus sesuai peruntukannya. Mobil dinas hanya untuk keperluan dinas, tak boleh untuk kepentingan pribadi. Lopa dan istri pernah datang ke sebuah acara dengan menggunakan pete-pete, angkutan kota khas Makassar karena hari minggu yang bukan hari dinas dan bukan pula acara dinas jadi tidak boleh menggunakan mobil kantor.

Penutup

Saat ini, negara Indonesia sedang sakit akibat terjangkit virus korupsi. Virus ganas yang telah menular inilah yang menyebabkan pembangunan terhambat karena dana dicuri para pejabat dan kroninya yang korupsi. Para koruptor membuat cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan rakyat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur semakin jauh dari harapan.

Semoga dengan belajar dari para tokoh yang memiliki integritas terutama tentang sikap jujur, kita bisa menjadi orang yang tidak akan pernah korupsi. Kita juga berani untuk mencegah terjadinya korupsi di manapun kita berada.

Sebagai Mamah Gajah alumni ITB tentu kita ingin berperan aktif dalam gerakan anti korupsi.

Rektor ITB, Reini Wirahadikusumah pada saat Wisuda April 2024 di Gedung Sabuga mengingatkan bahwa gelar akademik adalah sebuah bentuk tanggung jawab yang tinggi untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan, semangat terus belajar, dan berkontribusi kepada masyarakat, bangsa Indonesia, peradaban dunia, dan kemanusiaan. Karakter itu penting bukan hanya bagi profesi scientist, melainkan bagi semua profesi. Kita harus menjadi ‘agent of knowledge‘ sekaligus menjadi ‘agent of morality endowed with character‘. 

Sebagai orang tua, aku berusaha menjadi teladan bagi Kaka, Mas, dan Teteh agar kita menjadi orang jujur.

Artikel lengkapnya ada di sini: Ajarkan Kejujuran Kepada Anak

Satu tanggapan »

Tinggalkan komentar