Sebuah kota dengan beragam karya arsitektur dapat menjadi cermin budaya dan nilai-nilai dari masyarakatnya. karya arsitektur berupa bangunan atau ruang terbuka menjadi bermakna ketika di dalamnya terdapat aktifitas kehidupan manusia. Sebagaimana masjid agung at taqwa di pusat kota cirebon yang dilatari gunung ciremai dan berada dekat dengan pantai utara menjadi pusat kegiatan keagamaan masyarakatnya.
YB. Mangunwijaya, arsitek terkenal sekaligus penulis sekaliber sastrawan-budayawan menulis buku Wastu Citra. Beliau menelaah bangunan arsitektural sebagai hasil karya arsitektur yang menampilkan berbagai gejala, bukan hanya keterampilan teknis yang bercorak praktis, tetapi juga mencerminkan jiwa, mental, serta sikap budaya dari si pembuat dan si pemilik.
“Pulchrum splendor est veritas” (keindahan adalah pancaran kebenaran). Begitu yang dinasihatkan oleh ahli pikir Thomas dari Aquinas. Salah satu pengenal kemuliaan bahasa, juga bahasa arsitektur adalah kejujurannya, dan kewajarannya. Bila kita berasitektur, artinya berbahasa dengan ruang dan gatra. Dengan garis dan bidang, juga dengan bahan material dan suasana tempat. Sudah sewajarnya kita berarsitektur secara budayawan : dengan nurani dan tanggung jawab penggunaan bahasa arsitektur yang baik.
Arsitektur adalah perpaduan keindahan, perilaku, kesejarahan, mitos, dan fantasi, untuk mencapai lingkungan ideal. Lingkungan ideal yang diharapkan memperhatikan keberadaan symbol untuk merasai kebesaran alam, keterkaitan antara manusia, bangunan, dan alamnya. Hal tersebut disebabkan ada unsur memori dan respon tubuh dalam bangunan. Manusia ber-satu-alam dan ber-satu-hukum dengan dunia semesta fisik disekelilingnya. Sekaligus mengatasi flora, fauna, dan alam materi. Hakikat dan tugas budaya arsitektur pun disitulah, bagaimana ber-satu-hukum dengan alam semesta ? sekaligus mengatasinya : artinya berbudaya, bermakna.
Mari bertandang di Kota Wali ‘Cirebon’. Tinggalkan mobil di penginapan. Yuk! kita berjalan kaki, bersepeda, atau naik becak. Susuri seluruh jalan kota. Tengok kiri dan kanan jalan yang kita lalui, hiruplah nafas kehidupan di setiap karya arsitektur yang ada. Rasakan semacam aroma spririt, aroma kekuatan bahwa bangunan dapat menjadi cermin.
Apa sajakah cermin itu? Tentu! Cirebon kaya dengan cermin nilai-nilai budaya masyarakat. Keraton Kesepuhan dan Kanoman, taman air Sunyaragi, masjid Merah – Panjunan, masjid Agung – Kesepuhan, kelenteng, gereja, pelabuhan, stasiun kereta api Kejaksan, Balaikota, taman kota dan alun-alun, kantor, sekolah, pertokoan, gudang, jalan, jembatan, bahkan penjara, benteng, dan kuburan-pun adalah cermin perjalanan panjang sejarah dan budaya Cirebon. Begitu pula seraplah realitas kehidupan masyarakatnya kini. Aktivitas yang difasilitasi dan diwadahi oleh karya arsitektur tentu merupakan cermin nilai-nilai masyarakatnya.
Ah … Maaf bila salah. Aku sedikit merasa : “Kok … cermin-nya buram yah ?” Sepanjang kali Sukalila yang hitam berderet kios-kios tak beraturan, sampah-sampah berserakan. Rumah megah dua lantai berpagar tinggi sepertinya enggan disapa dan menyapa lingkungan sekitarnya. Kekuasaan ekonomi menggusur ruang publik tempat bercengkrama segala lapisan masyarakat. Lihatlah! Mal menggantikan lapangan bola, pabrik menggantikan sawah, real estate menggantikan daerah resapan air. Jalan terasa gersang sebab yang ditaman papan iklan : bukan pohon rindang.
Sekali lagi! Kekuasaan tak berpihak kepada yang lemah dan miskin. Lihat saja, apa yang dibangun? Harapan menemukan taman kota -hijau dan rindang- dihiasi air mancur -sejuk dan gemericik, lapangan olahraga untuk ‘jogging’ lari pagi dan bersepeda. Juga arena bermain anak gratis dilengkapi ayunan, jungkat-jungkit, perosotan, kolam pasir, dan rumput empuk untuk bergulingan, pupus sudah. Angan menguap menjadi awan. Bergelayut kelabu menunggu jatuh sebagai hujan. Semoga, menjadi hujan rahmat bagi masyarakat kota mendapatkan harapan dan angannya : tentang kota yang ramah dan cermin bening kehidupan.
Nah … Kalau ini rasanya benar! Di sudut kota ada cermin taqwa : manusia masih percaya ada Tuhan Yang Maha Segala. Cermin keagungan masa lalu, walau bersawang memberi setitik semangat : masa depan harus lebih jaya. Cermin kerja keras terlihat jelas, kuli pelabuhan membanting tulang sampai keringat mengalir deras. Cermin harapan generasi yang lebih baik, belajar di bangku sekolah maupun dikehidupan nyata. Tak ragu ada cermin perjuangan untuk kemanusiaan dan kehidupan penuh cinta, berbagi dengan sesama menjadi lakon yang seharusnya terus … terus … terus … ada, siapapun kita.
Tidak pantas manusia membangun asal-asalan, sekedar bisa berdiri dan dipakai. Harus ada dimensi lebih dari asal berguna, ada semacam nurani untuk membangun dengan lebih berbudaya. Hal ini pun dicontohkan oleh hewan semisal kupu-kupu dan kepompongnya, sarang lebah, rumah semut, karang laut, atau jaring laba-laba. Bangunan biar benda mati, namun tidak berarti tak ber-jiwa. Bangunan hidup karena dinafasi oleh seluruh aktivitas kehidupan manusia. Sebagaimana kita mengenal kata ‘home’ dan ‘house’.
Rasa memang harus diasah. Bagai pisau tak akan tajam bila tak diasah. Pisau tumpul tentu tak cukup berfungsi. Cermin juga harus selalu dibersihkan, agar menjadi cermin bening. Jika berdebu, maka tampak buram sesuatu yang dipantulkannya. Sadarilah bahwa sebuah kota dapat menjadi cermin budaya dan nilai-nilai masyarakatnya. Siapa lagi kalau bukan kita pelakunya ? Jadikan kota sebagai cermin yang memantulkan sesuatu yang baik, yang bermanfaat, yang menjaga nilai-nilai universal, yang tetap memiliki kemuliaan dan keindahan, yang memberi jalan bagi masa depan. Semoga …
NB : Artikelku terkait Cirebon telah terbit di Leisure koran Republika
Beberapa artikel terkait ada di bawah ini, semoga bermanfaat.