Mencintai Yang Terpilih, Mengapa Memilih Jurusan Arsitektur ITB?

Standar
Aku di depan gedung Labtek Arsitektur jelang reuni 30 tahun ITB 89.

Teknik Arsitektur ITB tempatku menuntut ilmu selama 4,5 tahun bukanlah tempat yang dipilih atas kemauanku sendiri. Bila ada pertanyaan, mengapa memilih kuliah di jurusan masing-masing? Sebagaimana tema tantangan kali ini, aku menjawab : ‘ITB bukan pilihanku. Jurusan Teknik Arsitektur juga bukan pilihanku’.

Jadi mengapa memilih kuliah di Teknik Arsitektur ITB? Yuk! Ikuti perjalanan kisahnya …

Loh kok bisa???

Ya … Bisa saja. Apa sih yang tidak mungkin di dunia ini.

Seorang anak SMA di sebuah kota kecil pinggir pantai Utara pulau Jawa. Prestasi rangking pertama di kelas sejak SD hingga SMA seringkali didapatnya dengan mudah. Bahkan menjadi siswa terpilih untuk mewakili sekolah dalam beragam ajang lomba Fisika dan Matematika mewakili sekolahnya. Menjadi pelajar teladan di kotanya dengan piagam penghargaan dari Walikota.

Menjadi ketua kelas dan pengurus OSIS, serta menjabat sekretaris DKC Pramuka di kotanya. Mengikuti kegiatan Raimuna Kanira ajang adu prestasi Pramuka tingkat provinsi hingga nasional. Juga memenangkan lomba putri-putri hingga tingkat nasional. Wajahnya sempat masuk semifinalis majalah Gadis era akhir 80-an. Senang olahraga renang, bersepeda balap, dan beladiri silat. Menulis untuk kolom pelajar di koran Pikiran Rakyat edisi kotanya. Menang beberapa lomba melukis. Senang memotret dan sudah punya kamera sejak SD.

Tapi … Anak berperawakan mungil dan sedikit tomboy ini takut darah. Tidak suka menghafal kadang mengabaikan mata pelajaran yang tidak disukai. Ambisius kadang terkesan sok dan saklek tidak mau mengalah. Hanya sedikit punya sahabat perempuan. Kalau berdebat tidak mau kalah. Bila belum kenal pasti akan merasa sebal ha3 …

Nah … Aku si anak sulung dari seorang dokter spesialis diharapkan mengikuti jejaknya. Bapakku menyarankan sedikit memaksa agar aku memilih fakultas kedokteran di UI. Jelas aku menolak mentah-mentah. Aku tidak berminat menjadi dokter. Aku ingin menjadi guru dan memilih IKIP jurusan matematika atau fisika. Tapi Bapak melarang. Aduuuhhh … Saat Bapak meyakinkanku untuk tidak memilih IKIP terjadilah perdebatan sengit. Sampai Mamahku menjadi penengah dan bilang, ‘Teteh maunya kuliah apa?’

‘Teteh mau kuliah di IKIP’. Keukeuh banget ya!

Lalu Bapak mengambil secarik kertas. Beliau menulis kelebihanku. Mulai dari prestasiku, hobiku, karakterku yang menurut beliau potensial. Ya Allah … Ternyata bapakku begitu perhatian. Sampai beliau tuh ingat betul aku pernah juara pertama lomba melukis sewaktu SD dan mengirimkan gambar ke acara Pa Tino Sidin di TVRI. Bapak tahu aku suka traveling dan fotografi. Dan pasti akan cocok bila kuliah di tempat yang banyak praktek lapangannya. Beliau juga bilang, ‘Kalau mau mengajar kan tidak harus jadi guru, Teteh bisa jadi dosen.’

Beliau memperlihatkan buku yang aku punya latihan soal UMPTN di bagian daftar perguruan tinggi. Aku duduk di samping beliau sambil ikut menyimak sarannya. Beliau menunjuk ITB dan jurusan Teknik Arsitektur lalu dilingkari dengan pinsil. Lanjut membuka lagi lembaran berikutnya dan menunjukkan jurusan Teknik Arsitektur UI dan dilingkari. ‘Nah … Jurusan ini cocok buat Teteh’.

Aku memandang lingkaran buatan Bapak. Mengangguk setuju. Tak ada lagi perdebatan.

Saat pendaftaran UMPTN di aula GSG ITB, aku mengikuti saran Bapak. Memberi warna hitam pada bulatan yang disediakan sesuai kode perguruan tinggi dan jurusannya. Aku belajar tekun untuk UMPTN. Tetap berusaha untuk lulus dan lolos UMPTN, walau jurusan kuliahku dipilihkan oleh Bapak.

Alhamdulillah … Karena Allah Yang Maha Baik lagi Maha Pemberi Karunia sayang kepadaku, namaku ada di daftar mahasiswa yang diterima di ITB. Pengumumannya di koran dilembar khusus.

Saat kuliah aku berusaha menikmati dan belajar dengan bahagia. Sebagaimana aku selalu bahagia belajar sejak SD hingga SMA. Bila ada pelajaran yang aku tak begitu suka … Ya semampunya saja he3 … Nilai D misalnya untuk pengenalan komputer, studio perancangan struktur, analisis struktur, dan perancangan tapak. Bila pelajarannya aku suka, nilai-nilaiku bisa mendapat A. Seperti mata kuliah arsitektur Islam, penerapan perencanaan kota, pemugaran bangunan lingkungan, ruang dan bentuk arsitektur. Aku juga mendapat nilai A untuk etika, manajemen, dan Pancasila.

Mata kuliah lain ya kombinasi antara B dan C. Nilai IPK sarjana biasa saja 2,82. Sedang nilai IPK kumulatif 2,66. Di masa itu rasanya tak ada perbincangan serius soal IPK. Bahkan kuliah lebih dari 4,5 tahun juga biasa saja. Jumlah SKS adalah 164 dengan batas akhir studi maksimal 7,5 tahun. Ketika melamar pekerjaan lebih ditekankan keterampilan dan skill teknis, tidak melihat nilai-nilai di transkip akademik. Karir pun lebih ditentukan oleh karakter, kepribadian, sikap kerja, dan kepemimpinan.

Aku merasa kuliah di ITB itu salah satu saja tempat belajar. Selama kuliah aku juga tetap aktif di DKD Pramuka Provinsi. Naik gunung, kemping, menjadi panitia kegiatan hingga ikut ajang Community Development Camp Internasional. Aktif di kegiatan sosial dan menjadi relawan di panti asuhan. Menghadiri kajian di Masjid Salman dan Pesantren Daarut Tauhid. Teman-temanku tidak hanya mahasiswa ITB, namun dari berbagai perguruan tinggi bahkan seluruh Indonesia.

Ya … Sejatinya belajar itu bisa di mana saja. Aku pernah membawa tugas studio ke kaki gunung Manglayang. Saat itu aku menjadi panitia bidang kesekretariatan dan harus stand by input data. Jadilah sambil kemping, sambil menggambar di atas kalkir. Syukurlah masih bisa menyelesaikan tepat waktu.

Kali lain, aku juga pernah harus ke Bali saat menjelang UAS. Jadi sambil perjalanan dan liputan kegiatan, tetap membaca materi kuliah untuk ujian. Ada juga kegiatan yang mengharuskan aku mengajukan ijin tidak hadir kuliah karena dikirim mewakili Jawa Barat kegiatan Comdeca di Malang. Di sana aku bertemu dengan Pramuka mancanegara selama 10 hari. Senang mendapat ilmu dan pengalaman yang tidak ada di bangku kuliah.

Aku juga ikut kegiatan menjadi surveyor bersama dosen ke Lombok dan Jambi. Pengalaman yang luar biasa. Ilmu lapangan itu sangat penting. Aku jadi paham tentang keadaan masyarakat Indonesia dan segala problematikanya yang terkait arsitektur dan bidang lainnya seperti politik, ekonomi, budaya, dan hukum.

Beberapa kali juga aku mengisi waktu luang dengan corat-coret desain busana muslimah. Lalu mengirimkan foto ke tabloid Hikmah, modelnya diriku sendiri hi3 … Aku ikut kegiatan himpunan IMA Gunadharma. Sebentar aktif di URPA (unit renang dan polo air).

Wisuda sarjana tahun 1994.
Genap 4,5 tahun kuliah, aku mengikuti wisuda.

Aku menjadi salah satu dari tujuh lulusan pertama diangkatanku. Hi3 … Entahlah aku yang woles atau dosennya yang kasihan : akhirnya aku tapak satu dapat D dan tapak 2 dapat C. Asli gak mau ngulang buat yang D biarkan saja. Karena bukan cuma aku yang dapat nilai kombinasi CD. Aku pun sadar kemampuan teknis gambarku itu gak bagus-bagus amat. Jadi studio maksimal dapat nilai B lebih sering CD. Heran juga kok ya bisa lulus tepat waktu 4,5 tahun, tanpa mengulang satu mata kuliahpun. Alhamdulillah …

Berfoto di depan gedung perpustakaan dan di depan gerbang ITB.

Wisuda dilaksanakan di GSG tempat di mana aku mengisi form pendaftaran dan acara Sidang Senat Terbuka penerimaan mahasiswa baru. Dari awal hingga akhir kuliah studio manual. Perkakas andalan nih pinsil, penghapus, penggaris segitiga ajaib, penggaris panjang, rotring, kalkir, dan silet plus meja gambar dilapis kertas milimeter block.

Anakku tanya, ‘Silet buat apa Bu? Serem gitu?!’ ‘Waaahhh … Silet itu benda ajaib buat ngerik kalkir kalau salah gambarnya. Mending sih kalau dosen baik hati gak dicoret spidol. Pernah ada dosen asistensi pakai spidol. Ya … Pasrah beneran ganti kalkir gambar dari ulang’, jawabku sambil nyengir.

Kuliah itu tidak melulu soal jurusan. Pembelajar sejati harus bisa belajar dari beragam tempat, berbagai kejadian, bermacam masalah kehidupan. Kuliah di ITB itu memang tidak selalu baik-baik saja. Tapi aku berusaha selalu merasa baik walau mungkin baru tahu benar-benar baik setelah belasan bahkan puluhan tahun kemudian.

Mencintai yang terpilih itu suatu keharusan.

Jangan lari dari kenyataan, tapi nikmati saja setiap episodenya. Insya Allah hikmah dan jalan kebaikan akan kita dapatkan.

Selalu rindu kembali ke kampus ITB.

Kampus tercinta sudah berubah di sana-sini, semakin cantik dan tertata rapi. Prasasti Soekarno : pada tanggal dua bulan Maret tahun seribu sembilan ratus lima puluh sembilan Paduka Jang Mulia Presiden Republik Indonesia Hadji Doktor Insinjur Achmad Soekarno telah meresmikan Institut Teknologi di Kota Bandung.

Menikmati suasana kampus. Baru tahu ada istilah axis mundi saat ospek himpunan. Dan inilah salah satu penerapan axis mundi di kampus ITB. Jika cuaca cerah akan tampak latar gunung Tangkuban Perahu di kejauhan.
Aula Barat ITB, dan kembarannya aula Timur ITB.

Bangunan ikonik ini dirancang oleh seorang arsitek dari Belanda, yaitu Henry Maclaine Pont pada tahun 1918. Atap tumpu dengan gaya tradisional membuat citra lokal yang diambil dari berbagai macam model atap yang ada di Indonesia berpadu membentuk keserasian dengan gaya bangunan Eropa modern.

Aula Timur di kala hujan.

Keistimewaan aula Barat dan aula Timur adalah pertemuan antara beberapa teknologi modern yang ada pada saat itu, yang diwakili oleh laminater wood, yaitu kayu yang berlapis-lapis yang mengisi kolong bangunan tersebut.

Reuni alumni teknik arsitektur angkatan 1989. Mengenang masa kuliah adalah hal yang menyenangkan. Silaturahmi dengan teman-teman tetap terjalin hingga sekarang.
Kuliah kimia saat TPB di LFM ITB.

Jika ada survey, maka hasilnya adalah sebagian besar mahasiswa teknik arsitektur tidak suka dengan kimia ha3 … Jadi menyimak dosen yang mengajar di ruang sebesar bioskop mini adalah hal paling membosankan saat itu. Lulus dengan nilai C sudah sangat senang, asal tidak mengulang.

Masa TPB senang sekali berfoto di lapangan rumput depan aula Timur.

Saat TPB masa orientasi dengan pola belajar yang berbeda dengan masa SMA. Ada juga yang DO drop-out karena IPK tidak mencapai 2,00. Atau mengulang ikut UMPTN dan memilih jurusan lain karena merasa tidak cocok dengan pilihannya sekarang.

Penataran P4 berseragam putih-putih di gedung Oktagon.

Adakah sekarang penataran semacam ini? Mempelajari Pancasila, 36 butir-butirnya, GBHN, juga membahas pemerintahan dan sikap bela negara. Oya … Saat TPB masih ada kuliah kewiraan dan di transkrip nilai ada mata kuliah Pancasila. Keren kan?

Ospek himpunan IMA Gunadharma.

Dramanya banyak banget hiiikkkssss … Digundul, berkostum nyeleneh, tas karung tepung terigu, topi setengah bola plastik, kaos kaki beda warna, berlumur wangi bawang, makan minyak ikan, malam-malam ditutup mata sambil push up dan skot jump. Jalan kaki ke alun-alun Bandung, buat sketsa di depan hotel Savoy Homann, meneriaknan yel-yel sepanjang jalan. Ruangan ini sangat bersejarah. Jendela dengan kaca lebar dan langit-langit berstruktur besi baja selalu membuat rindu.

Pelantikan anggota himpunan IMA Gunadharma.

Setelah lebih dari sepekan tidak mandi. Ha3 … Untung masih bisa wudhu untuk shalat wajib dan sikat gigi di sungai kecil dekat camping ground. Jaket biru cerah pun menjadi kostum andalan dan kebanggaan. Setelah melewati sangatnya ospek sungguh barulah terasa, aku mahasiswa teknik arsitektur ITB.

Gedung jurusan Teknik Arsitektur awal tahun 90-an.

Banyak kisah misteri di sini. He3 … Tangga besi yang kadang berderak tapi tak ada sesiapapun yang lewat. Wangi kembang sangat menyengat dan semilir angir walau jendela studio tertutup rapat, benda-benda pindah tempat, bunyi panggilan halus padahal tak ada orang. Toilet yang besarnya seukuran kamar kos. Dan kantin legendaris Bang Edi. Di pojok kanan ada ruang sekretariat himpunan dan menempel dengan kantin indomie terenak sedunia.

Reuni 30 tahun ITB 89 tahun 2019.

Kami sudah menginjak usia golden age, setengah abad. ITB tahun 2020 memasuki usia 100 tahun sangat luar biasa. Apapun peran kami sekarang serta jabatan yang disandang tetaplah melekat erat rasa seperjuangan. Kami arsitek yang lahir dari studio lantai 3 gedung teknik arsitektur ITB. Selalu kangen kalian …

Always miss you so much …

Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog

Satu tanggapan »

  1. Dewi….
    Ini Sari Rochmawati, KI 89. Rochma adalah nama pena ku.
    Wah luar biasa. Baru gabung langsung submit tulisan.
    Keren pengalamannya. Sekali lagi luar biasa, bisa tetap kuliah dan lulus cepat dan masih ikut kegiatan macem-macem.

  2. tetehh produktif banget, idolaku… duhhh poto2nya jg gemesin, masih lengkap yaa teh! makasii udah menginspirasii tehhh!

  3. Luarbiasa teh produktif sekali kuliahnya. Aku emaze sama foto-fotonya masih lengkap dan historis, masih inget jaman kuliah sedetil itu tuh sesuatu banget saya aja yang lulus 6 tahunan lalu udah lupa-lupaan huhu

  4. Teh Dewi, aku terpesona dengan keaktifan teteh di banyak kegiatan. Aku dulu kecilnya juga agak mirip begitulah, tapi pas kuliah malah tenggelam dalam tugas-tugas dan ketidakjelasan, heu heu..

  5. Ya ampun Mbak, keren banget cara Bapaknya meyakinkan anaknya. Dimulai dari menunjukkan kelebihan anak dulu ya. Jadi bukan asal maksa aja. Suka-suka-suka.

    Aku ngerasa related banget baca tulisannya Mbak Dewi. Aku pun anak Pramuka dari SMA sampai Kuliah.

  6. Ping-balik: Target Ramadhan : Menulis Dua Artikel dalam Satu Hari | dewi laily purnamasari

Tinggalkan komentar