Penulis: Adam Fauzi Akbar
Secangkir kopi. Ini adalah sebuah minuman yang hampir setiap hari di hidangkan oleh mamaku kepada bapakku setiap pagi dan sore hari setelah pulang kerja. Minuman ini selalu disajikan di meja makan, tempat kami sekeluarga berkumpul dan berbincang bersama selain di ruang keluarga. Tetapi di bandingkan ruang keluarga, meja makanlah tempat yang paling asyik untuk ngobrol bersama.
Cerita paling seru adalah saat adik–adiknya bapakku kumpul liburan di rumah eyangku, biasanya mereka bercerita di ruang keluarga lalu saat makanan sudah siap disajikan mereka pun melanjutkan ceritanya di ruang makan. Mereka bercerita seperti sahabat lama yang telah lama tak bartemu. Kadang juga tante – tanteku juga berkumpul saling sharing atau bercerita, tak jarang juga anak–anak mereka pun alias saudara–saudaraku juga berkumpul di suatu ruangan saling ngobrol dan lain sebagainya. Kopi yang biasanya di buat oleh mamaku untuk bapakku adalah Kopi Cappucino.
Kopi ini biasanya disajikan pada saat sarapan dan pulang kerja. Biasanya pada saat sarapan atau makan malam dan minum kopi kami bercerita tentang kehidupan sehari yang telah dilewati tadi kadang juga bapakku bercerita tentang kehidupan masa lalunya. Tak jarang juga aku atau adikku atau bahkan mamaku juga meminta nasihat atau bertukar pikiran bersama bapakku. Banyak cerita yang aku ingat. Mulai dari yang lucu, sedih, bernostalgia, hingga berdiskusi tentang masa-masa yang insyallah akanku lalui hingga akhir hayatku nanti. Secangkir kopi ini lah yang membuat kami bercerita tentang kejadian yang pernah dialami bersama maupun sendiri, kadang kala secangkir kopi inilah yang mencairkan suasana saat salah satu diantara kami ada yang emosi atau mungkin sedih dan lain sebagainya.
Salah satu cerita yang aku ingat adalah saat bapakku bercerita saat ia mengisi salah satu kultum malam Jumat di salah satu masjid dekat rumahku. Bapakku waktu itu bertugas menggantikan penceramah yang harusnya mengisi waktu itu tetapi berhalangan sehingga harus diganti oleh bapakku. Saat itu sebelum maghrib aku lihat bapakku sedang mempersiapkan materi yang akan ia sampaikan pada saat ceramah nanti, begitu pula waktu ba’da maghrib, ia juga mempersiapkannya dengan matang, mulai dari membaca buku dan mencari refrensi. Sebelum Isya’ pun kulihat bapakku juga sudah siap untuk mengisin ceramah nanti. Tibalah waku Sholat Isya’. Beberapa puluh menit setelah selesai Sholat Isya’ ceramah pun dimulai. Karena faktor usia wajar kalau sudah agak tua penglihatannya sudah mulai terganggu jadi wajarlah kalau menggunakan kacamata. Saat awal mulai ceramah masih biasa tetapi saat akan membacakan apa yang ada di buku saat ia baca tadi ternyata cahayanya tidak terlalu terang, sehingga bapakku tidak biasa membaca apa yang ada di buku. Akhirnya pun ia terpaksa mengatakan apa yang ada dipikirannya. Beruntung yang mengikuti kajian itu sedikit. Hahaha. Seruangan pun ketawa.
Ada juga cerita lain. Kali ini aku yang bercerita. Masih tentang ceramah. Waktu itu aku bercerita saat mamaku pulang dari luar kota. Biasalah namanya dah lama nggak ketemu pengen cerita terus. Pas itu aku kultum karena jadwal dari sekolah. Sebenarnya materi yan akan kusampaikan sudah lama kupikirkan, yaitu ciri–ciri orang munafik. Aku mengambil hadist ini karena sebelumnya aku sudah hafal, dan mungkin juga mereka pun juga sudah hafal, tetapi aku ingin mereka mengerti apa yang dimaksud oleh hadist ini. Kebetulan, aku kan absen pertama di kelasku dan aku pun juga pemimpin sebuah Pasus (Pasukan Khusus), jadi aku ingin membuat suatu yang berbeda. Karena aku insyallah sudah sangat menguasai materinya aku pun mempersiapkannya ba’da Sholat Shubuh. karena kebetulan iu aku harus beda dari yang lain, kalau biasanya mereka kultumnya membaca dan ngomong sendiri, aku harus kebalikan dari mereka.
Aku berencana setiap ciri–ciri itu ku tambahkan contoh dalam kehidupan sehari–hari. Seperti biasa, sebelum seseorang maju di depan umum pasti ada rasa grogi / nervous / deg-degan, tinggal bagaimana menyikapinya. Ba’da shalat pun tiba, aku berdoa agar tidak grogi dan lancar–lancar saja. Akhirnya aku pun maju ke depan dan naik ke atas mimbar. Seperti biasa, aku mulai dengan mengucapkan salam dan shalawat, mungkin dari kultum–kultum yang lain berbeda sedikit. Lalu ku buka dengan bahasa Indonesia dan ku lanjutkan dengan memhafalkan hadistnya dengan bahasa Arab. Saat aku hafalkan hadist itu mulai dari perawinya, masih belum ada masalah, mulai ada masalah saat masuk ke hadistnya. Aku ragu–ragu pada bunyi awalnya. Aku tak bisa berkata apa–apa, hanya ku ingat–ingat kembali apa awal hadistnya sambil melihat sekeliling dan berkata “Apa ya…?” tanyaku. Semua pandangan tertuju ke arahku. Mereka bingung awalnya dah kenceng lah malah berhenti di tengah–tengah. Alhamdulillah, aku ingat kembali awal hadistnya dan aku lanjutkan kembali ceramahnya. Orang tuaku ketawa mendengar ceritaku ini. Lalu kulanjutkan dengan ciri–ciri yang pertama, yaitu “Apabila ia berkata ia berdusta”. Aku mengambil contohnya kalau menurut mereka adalah cerita Upin Ipin yang penggembala yang bohong dombanya dimakan serigala. Jadi pas di kelas pun pada bercerita yang itu tapi pake bahasa Melayu. Aku lanjutkan 2 ciri–ciri berikutnya dengan cerita pula, dan beberapa dari mereka pun juga ada yang masih ingat. Hahaha.
Tak jarang secangkir kopi ini lah yang menemaniku saat tidur larut untuk mengerjakan tugas yang harus segera dikumpulkan. Jika ada mamaku ia pun juga membersamaiku untuk menyelesaikan tugasku itu. Meskipun ia sudah terngantuk–ngantuk tetap juga menunggu aku sampai hampir selesai. Tapi setelah aku mahasiswa dan ngekost di sebuah rumah dekat universitasku menuntut ilmu, aku ngopi hanya saat lembur mengerjakan paper atau tugas lain yang harus segela diselesaikan dan ditemani oleh lampu yang tak terlalu terang di kamar kostku. Kadang kala ketika kuliah malam, setelah selesai kuliah aku bersama teman dekatku juga sering mampir ke hik yang dekat kostku untuk menghilangkan lapar dan haus sejenak sambil ngobrol–ngobrol ringan membahas kuliah atau diri pribadi. Kadang kala saat aku sendiri tak ada kerjaan, aku juga ngopi sambil melakukan muhasabah diri tentang apa yang telah terjadi.
Kadang juga aku berfikir tentang keadaan bangsa Indonesia saat ini. Entah itu pendidikannya, kesehatan, kesejahteraan, berbagai masalah, sampai bagaimana solusinya. Entah kenapa aku tiba–tiba berfikir seperti itu. Menemukan sebuah pertanyaan, mencari asal masalahnya dan menjawabnya sendiri.
Tapi dulu saat aku masih bersama keluargaku, pernah suatu ketika kebiasaan minum kopi itu diganti dengan minum teh. Kurang lebih satu minggu lebih kebiassan itu diubah dengan minum teh. Tak ada bedanya. Hanya rasa yang berbeda karena memang terbuat dari bahan yang beda. Namun dengan teh semua keluarga bisa meminumnya. Dan sekarang pun sudah ada model teh celup yang memudahkan pembuatannya, oleh karena itu bisa dibuat dengan cepat di teko dan segera dinikmati bersama. Sekarang pun juga sudah ada kopi yang berbentuk sachet kecil sehingga memudahkan pembuatan.
Kalau dulu kami masih membeli kopi yang bersachet besar, jadi harus menggunakan takaran dan juga sulit ditemukan, karena jalur kendaraan yang masih mahal. Tetapi tak jarang juga aku minum di warung kopi yang terletak tak jauh dari gubug kecil tempat tinggal aku dan keluargaku bernaung dari tetesan air hujan dan sinaran matahari. Sambil berbincang bersama teman atau keluarga, menyeduh secangkir kopi yang panas yang dibuat secara langsung oleh karyawan warung ditemani gorengan pada pagi hari yang masih berkabut tak kalah nikmatnya juga yang disuguhi dengan pemandangan yang tak kalah nikmatnya tuk dipandang. Biasanya aku minum kopi di warung sambil memakan gorengan–gorengan, meskipun tidak sering karena dapat membuat suara serak.
Namun kebiasaan minum kopi juga tergantung dari kondisi cuaca dan selera. Kadang saat penjual berangkat pagi–pagi saat masih dingin, enaknya minum kopi hangat. Tak langka pula saat cuaca panas dihidangkan dalam kondisi dingin. Setiap orang memiliki cara sendiri–sendiri untuk menikmati kopi, dengan berbagai rasa, tempat, dan suasana. Entah saat dalam keadaan senang, sedih, bahagia, galau, marah, atau suasana lainnya. Minum kopi dengan rasa mocca, capucino, kopi hitam, luak, dan sebagainya. Terpenting, bagaimanapun perbedaan dan selera yang berbeda, minum kpi tetap sama seperti wajarnya yang bisa menghilangkan kantuk dan lebih enak minum sambil nongkrong bersama teman–teman sambil bercerita besama.
Kadang kala saatku sendiri, aku memikirkan keluargaku yang ada di tempat asalku sana. Merindukan kebersamaan yang mungkin belumku rasakan sekarang. Tapi ini memang sebuah perjalanan hidup yang harus aku lalui. Untuk menjadi seorang pribadi yang memiliki nilai lebih. Yang akan mendapatkan sebuah kebersamaan dalam secangkir kopi dengan istri dan keluargaku kelak nanti. Tapi dengan kopi ini aku mendapat pengalaman yang tak terlupakan, yang kadang–kadang aku ingat kembali dengan secangkir kopi ini. Meskipun disetiap generasi memiliki kisah yang selalu berbeda. Tetapi kopi tetaplah kopi.
…
Simak juga artikel menarik lainnya di link berikut:
https://dewilailypurnamasari.wordpress.com/2021/05/19/kalimantan-sejuta-kenangan/