Keunikan Masjid Menara Kudus dan Masjid Agung Demak

Standar

Keberhasilan penyebaran Islam di Jawa tidak lepas dari peran Ulama Sufi yang tergabung dengan Wali Songo. Wali sendiri berarti pembela, teman dekat, dan pemimpin. Dalam hal ini bisa diartikan sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT (Waliyullah). Sedangkan kata Songo (Jawa) berarti sembilan. Jadi secara umum Wali Songo berarti sembilan Wali yang dekat dengan Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung.

Wali Songo di Nusantara dikenal sebagai sembilan tokoh penyebar agama Islam yang paling populer. Mereka adalah catatan sejarah penting bagaimana perjuangan para wali, terutama para leluhur kita berjuang dengan semangat dan pengorbanan saat menegakkan syiar agama Islam di Indonesia. Mereka menyebarkan agama Islam di Nusantara pada sekitar abad 14.

Masjid Menara Kudus

Perjalanan panjang menyusuri jalur Gresik – Bojonegoro – Blora – Rembang -Kudus terbayar tuntas sudah. Aku sempat salah alamat ketika akan menuju Masjid Menara Kudus yang keren itu. Di alun-alun kota Kudus ada Masjid Raya ternyata bukan masjid yang ingin aku tuju. Jarak tak lebih dari 2 kilometer namun harus berputar karena jalur searah.

Tak lebih dari 15 menit sampailah aku di parkiran masjid. Berjalan kaki 50 meter menuju masjid yang didirikan oleh Sunan Kudus satu dari 9 Wali yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Terlihat megah. Susunan batu bata merah tampak kokoh. Di sisi kiri ada makam dan sisi kanan ada masjid lama yang di kelilingi bangunan masjid baru. Pesona menara masjid membuat para peziarah tak henti-hentinya berpose di sekitarnya. Bahkan penjaja foto kilat pun beraksi menawarkan foto langsung jadi dengan harga tak terlalu mahal. Masjid Menara Kudus dibangun pada tahun 1685 Masehi atau 956 Hijriah oleh Sunan Kudus yang bernama asli Syeh Jafar Shodiq. Nama asli masjid ini adalah Masjid Al-Quds. 

Aku terkagum-kagum dengan teknik arsitektur menara yang hanya dilapis semacam semen tipis antar batu batanya. Atap gerbang yang mengarah ke makam pun unik dengan ornamen yang mengadaptasi lengkung-lengkung seperti ujung lunas perahu. Apakah arsitekturnya terpengaruh budaya pesisir? Bisa jadi! Aku sempatkan shalat tahyatul masjid dan menikmati sejuknya semilir angin di beranda sambil bersender di gerbang dari batu bata merah. Sepertinya itu adalah gerbang utama di masa lalu.

Masjid Menara Kudus tergolong berbeda dengan masjid pada umumnya, terutama pada desain arsitektur menara. Pada masjid kebanyakan, menara dibuat layaknya tugu seperti biasa. Namun, menara masjid peninggalan Sunan Kudus ini didesain seperti bangunan candi. Menara setinggi 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m. Tampak menarik dengan ragam hias piring-piring bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah. Ternyata di dalam menara terdapat tangga yang terbuat dari kayu jati, dibuat sekitar tahun 1895 M. Menilik bangunan masjid ini menunjukkan ada kaitan erat dengan kebudayaan Hindu Jawa, Bangunan terrdiri dari 3 bagian: (1) kaki, (2) badan, dan (3) puncak bangunan. Di puncak menara ini dihiasi antefiks (hiasan yang menyerupai bukit kecil).

Gaya arsitektur Masjid Menara Kudus secara keseluruhan bergaya tradisi seni Hindu. Hal ini dapat dilihat pada struktur dan bentuk atap berupa tumpang bersusun tiga. Sementara bangunan menara masjid menyerupai candi Jago, yang merupakan peninggalan Raja Singasari Wishnuwardhana. Rupanya menara masjid bukan satu-satunya yang menyerupai bangunan candi. Pintu gerbang Masjid Menara Kudus juga didesain menyerupai candi belah atau Candi Bentar. Sementara dua daun pintu dibuat kembar sebagai totalitas tradisi seni kori agung atau paduraksa.

Ornamen berunsur Arab dan Islam salah satunya dapat ditemukan di padasan atau bak air, yang letaknya di samping bangunan masjid. Padasan itu terbuat dari susunan bata merah tanpa pelester. Di bagian bawah terdapat ornamen pola anyaman simpul (Arabesque) dengan bahan batu putih.

Yang menarik adalah kios-kios di sepanjang jalan menuju masjid. Kebanyakan kios itu menjajakan busana muslim seperti baju koko, kopiah, sajadah, dan kaos dengan gambar Masjid Menara Kudus atau Wali Sanga. Sayang masih ada peminta-minta yang sedikit memaksa untuk diberi sedekah. Sejarah perkembangan agama Islam di Indonesia tak lepas dari jasa para Wali yang begitu gigih dan luwes berdakwah. Tanpa gejolak dan tak serta merta menghilangkan budaya masyarakat menjadikan jalan dakwah para Wali berkenan di hati dan diikuti oleh masyarakat dengan suka cita. Sepertinya kita harus belajar dari para Wali untuk menemukan metode yang menarik, damai, dan memikat agar Islam yang Rahmatan lil ‘alamin benar-benar tercermin dalam akhlak mulia para penganutnya, aamiin …

Masjid Agung Demak

Kaka dan Bapa berpose sejenak di halaman depan Masjid Agung Demak merupakan masjid kuno yang dibangun oleh Raden Patah dari Kerajaan Demak dibantu para Walisongo pada abad ke-15 Masehi. Masjid ini masuk dalam salah satu jajaran masjid tertua di Indonesia. Lokasi Masjid Agung Demak terletak di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.

Raden Patah saat itu memberi gambar bulus sebagai simbol pembangunannya. Arti dari bulus adalah menggambarkan candra sengkala memet, yang bermakna Sirna ilang kerthaning bumi. Secara filosofis, gambar bulus ini menggambarkan tahun pembangunan Masjid Demak yaitu 1401 Saka. Dari segi arsitektur, Masjid Agung Demak mengusung gaya tradisional Jawa. Berbeda dari masjid pada umumnya yang memiliki kubah, atap masjid ini justru berbentuk limas dan bersusun tiga. Penutup atap dari sirap sebagai ciri khas daerah tropis. Atapnya ini sarat akan makna tentang ajaran Islam, yaitu tentang Iman, Islam, dan Ihsan. Adapula yang menaknainya secara tasawuf, yaitu tentang syariat, tharikat, dan hakikat.

Aku memperhatikan atap Masjid Demak yang ternyata ditopang empat saka atau tiang, yaitu di barat laut, barat daya, tenggara, dan timur laut. Kayu utuh -gelondongan itu berdiri kokoh dalam warna coklat tua berkilat. Menurut sejarahnya pembuatan saka atau tiang ini dilakukan langsung oleh empat wali dari Wali Songo. Mereka adalah Sunan Bonang membangun tiang barat laut, Sunan Gunung Jati barat daya, Sunan Ampel tenggara, dan Sunan Kalijaga timur laut. Tiang yang dibuat oleh Sunan Kalijaga dikenal dengan nama saka tatal, atau saka guru tatal. Tiang ini termasuk unik, karena dibuat dari serpihan dan potongan-potongan kayu.

Serpihan dan potongan kayu itu disatukan, diikat, lalu dihaluskan. Dalam satu keterangan disebut bahwa ikatan itu dilepas beberapa tahun kemudian. Namun dalam keterangan yang lain disebutkan bahwa proses pembuatan saka guru tatal, dari menyatukan serpihan kayu, mengikat, dan menghaluskan hanya butuh waktu satu malam. Saka tatal memiliki makna filosofi yang mendalam. Serpihan kayu yang berbeda ukuran itu melambangkan perbedaan suku yang ada di wilayah Nusantara. Namun perbedaan-perbedaan itu tetap dapat disatukan, bahkan bisa bisa menjadi kekuatan ketika sudah dihaluskan.

Keunikan selain saka tatal, Masjid Agung Demak juga memiliki daun pintu yang dikenal dengan sebutan pintu petir atau lawang bledeg, yang dipercaya bisa menangkal petir. Pintu ini sebenarnya sama seperti pintu pada umumnya. Namun terdapat beragam ornamen beraneka ragam, mulai dari kepala naga dengan mulut terbuka, semburan api, mahkota, sulur-suluran, hingga Surya Majapahit. Konon ornamen pintu petir ini merupakan gambar petir yang ditangkap oleh Ki Ageng Sela. Dia merupakan keturunan Prabu Brawijaya dari Majapahit.

Di dalam komplek Masjid Agung Demak terdapat makam para raja Demak.

Tinggalkan komentar