Dunia Belanjaku Sebagai Alumni ITB adalah Blusukan di Pasar Tradisional

Standar

Aku bukan perempuan yang suka belanja, apalagi keluar masuk mal. Biasanya sih aku belanja itu untuk sesuatu yang dibutuhkan. Sesekali aku pergi ke mal tentu untuk membeli barang yang dibutuhkan. Namun tempat belanja yang paling pas dan menjadi pilihan utamaku adalah pasar tradisional. Kali ini Mamah Gajah Ngeblog (MGN) mengadakan ‘Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog’ bulan Septermber dengan tema ‘Mamah dan Dunia Belanja.’

Teteh belajar berbelanja sayur mayur dan bumbu dapur di pasar tradisional.

Pasar Tradisional

Berbelanja di pasar tradisional kerap aku lakukan diberbagai kesempatan. Pasar tradisional di berbagai kota/kabupaten di Indoenesia masih memiliki posisinya tersendiri di mata masyarakat. Sekalipun harus berhadapan dengan gempuran dari pasar-pasar mewah, mal-mal, supermarket, bahkan mini market yang merayap masuk di lahan pasar tradisional.

Seseorang ketika menyematkan kata tradisional pada hal-hal tertentu, biasanya mengandung makna perendahan atau penomorduaan. Kelas bawah. Berbeda ketika menyebutkan kata modern, yang dimaknai mengandung kehebatan dan kemajuan.

Istilah pasar tradisional seringkali mengarah kepada pasar-pasar yang bermodal kecil, lemah, kotor, tidak rapih, semrawut dan seringkali tidak taat aturan. Karena, gejala ini menghinggapi banyak orang, Pemerintah Daerah pun terkadang tidak berpikir keras untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang memungkinkan mereka bisa bertahan, maju dan bisa memberikan nilai lebih kepada kesejahteraan para pedagang dan masyarakat pada umumnya.

Pasar tradisional merupakan tempat yang relatif lebih memungkinkan dimasuki oleh pelaku ekonomi lemah/pedagang kecil. Mereka memiliki jumlah mayoritas dalam piramida ekonomi di Indonesia. Pasar tradisional mudah diakses oleh pedagang kecil karena harga sewa kios/lapak, bahkan bisa di emperan, terjangkau oleh mereka. Pedagang kecil tidak mampu menyewa di pasar modern dengan harga yang lebih mahal, karena modal mereka juga terbatas.

Inilah enam pasar tradisional yang pernah aku kunjungi bersama Teteh:

1. Pasar Beringharjo Yogyakarta

Setiap orang yang pernah menjejakkan kaki di kota Yogyakarta pastilah memiliki kenangan indah tersendiri. Begitupun Aku dan Teteh ketika berlibur ke Yogyakarta sekaligus menghadiri Ujian Terbuka untuk memperoleh derajat Doktor dalam Ilmu Lingkungan. Artikel lengkapnya ada di sini.

Bukan pertama kali ini Teteh berlibur di Yogyakarta. Namun pengalaman berkeliling kota dengan becak listrik barulah pertama kali. Dari penginapan di kawasan kampus UGM, Teteh menuju jalan Malioboro dan langsung minta untuk belanja di Pasar Beringharjo. Pagi itu pasar masih lengang sehingga kami leluasa untuk memilih berbagai motif batik yang menarik, unik, dan cantik. Harganya murah meriah loh! Pedagangnya pun sangat ramah.

Murah meriah harga segala jenis batik di Pasar Beringhardjo.

2. Pasar Gede Hardjonagoro Solo

Bila berlibur di Solo, aku selalu mampir ke Pasar Gede Hardjonagoro. Siang hari sungguh cocok bila menyantap dawet telasih dan es gempol pleret Bu Wiji. Segar sekali rasanya. Minuman favorit keluargaku ini rasanya manis, dingin dan segar. Bakal ketagihan deh!

Teteh pasti memilih naik becak bila keliling kota Solo.
Di dalam pasar tradisional banyak kuliner favorit Teteh.

Ramuan es dawet tradisional Solo yang turun-temurun tiga generasi. Semangkuk es dawet ketan hitam, tape ketan, jenang sumsum, biji telasih, cairan gula, dan santan dengan tambahan es batu. Artikel tentang kuliner Solo sudah aku tuliskan di sini. Selain kuliner aku biasanya membeli buah-buahan dan oleh-oleh khas Soli di pasar ini.

3. Pasar Triwindu Solo

Kali ini aku mengajak Teteh menjejak masa lalu di Pasar Triwindu Solo. Barang-barang antik yang tak lagi digunakan anak-anak gen Z, seperti lampu cempor, patromaks, setrika arang, radio, televisi tabung hitam putih, sepeda onthel, alat takar minyak tanah, mesin ketik manual, … beberapa barang aku pernah memakainya. Ya! Karena aku anak kelahiran tahun 70-an.

Sahabatku Tetty (sesama alumi AR-ITB) bercerita, “Dulu kalau almarhum Kakek sudah bersiap siap nyalain petromaks, aku pasti langsung pasang posisi nongkrong di depan beliau. Karna bagiku dulu menyalanya lampu petromaks itu seperti sulap … Kok bisa? Kaos lampu yang kempes dan terbuat dari bahan yang seperti jala-jala jadi genduuut dan menyala … Emejiiing …” 

Teteh berkunjung ke pasar barang antik di Solo, rasanya seperti melewati lorong waktu.

Maya sahabatku yang keturunan Keraton Solo juga berkisah, “Ngalamin masa-masa pake petromaks, lampu kentir, obor, tungku kayu. tungku kayu bakar plus perlengkapan dapur dari tembaga berat-berat. Trus nasinya diaron baru ditanak setelah matang digelar dinampah dikipas-kipas. Hhhmmm … haruuuummmm uap nasinya ajaib.”

Petromaks dan segala macam barang antik di pasar Triwindu.

Lain lagi nih sahabatku Vera punya pengalaman menarik. Katanya, “Aku ngalamin pakai petromak, setrika arang yang beeuaratt. Lampu minyak juga dan mesin tik …tok … tik …tok … Obor dan masak pakai kayu bakar. Televisi masih hitam putih. Kalau mau nonton harus mandi dulu. Trus berjejer di depan televisi yang masih pakai aki.”

4. Pasar Kramatjati Jakarta

Pete kesukaanku adanya di pasar tradisional.

“Yaaa ampuuunnn! … Cantik-cantik kok suka pete?” tetiba seorang teman protes ketika aku upload foto pete serenteng. Lain waktu ada yang ketawa tergelak saat aku pesan pete goreng di rumah makan, “Ha3 … Baru tau ternyata Mba Dewi suka pete. Gak takut kebauan ya?” aku tersenyum dan iseng bilang, “Gampang kok ilangin bau pete. Hhhmmm … Makan aja jengkol. Ha3 …”.

Aku membeli pete di pasar tradisional. Kebetulan rumahku tak jauh dari Pasar Kramatjati, cukup 10-15 menit berjalan kaki. Nah … Teteh juga sering aku ajak di akhir pekan ke pasar untuk membeli keperluan dapur. Walau kadang dia kesal karena becek dan bau.

Belanja bahan makanan di pedagang kecil.

5. Pasar Tawangmangu Karanganyar

Sayur mayur segar di Pasar Tawangmangu.
Para pedagang sebagian besar perempuan.

Aku minta suami mengantarku ke pasar Tawangmangu. Aku membeli pisang asli dari kebun di Tawangmangu. Tak murah juga harganya satu sisir Rp. 20.000,-  tapi sungguh tidak menyesal. Manis dan segar karena matang pohon. Penjualnya perempuan paruh baya yang ramah, malah menawariku untuk juga membeli ubi ungu. Tak kuasa menahan rasa ingin mencicipi jenang dwi warna yang terlihat ‘yummy’ aku berjongkok sambil menanti dengan sabar pedagangnya melayani tiga pembeli. Kulit wajah sudah menunjukkan usianya yang lanjut, namun tangannya tetap cekatan menyendok jenang dan membungkusnya dengan rapi.

Pemandangan seperti ini cuma ada di pasar tradisional.

Selesai membeli jenang, aku berkeliling pasar dan menemukan pedagang kacang rebus yang masih mengepulkan asap. Wah … sepertinya enak. Langsung aku menghampiri dan membeli dua tangkup kacang rebus. Aku tanya apakah kacangnya membeli? Tidak! Kacang dari kebun sendiri, ditanam sendiri, dipanen sendiri, dimasak sendiri, diangkut sendiri, dijual sendiri. Tapi uangnya buat rame-rame, buat anak cucu. Oh … hebat sekali! Perempuan ini adalah lansia ceria, terbukti sambil melayani aku dan juga pembeli lain, dia tetap ramah sesekali tersenyum bahkan tertawa menanggapi pertanyaanku tadi. Duh … Bagaimana tidak dibilang perkasa? Karung gendut dan beratpun diangkut!

6. Pasar Kanoman Cirebon

Jika aku mengunjungi Mamah di Cirebon, dipastikan selalu berkunjung ke Pasar Kanoman untuk berburu ikan laut. Waaahhhh … Ikannya masih segar dan harganya terjangkau. Aku paling suka udang dan balakutak hideung. Nah … Kisah masakan favorit ini sudah aku tuliskan di sini.

Ikan laut masih segar di Pasar Kanoman. Sumber About Cirebon

Selain ikan segar di pasar ini juga banyak produk olahan berbahan dasar ikan seperti kerupuk, terasi, petis, dan ikan asin. Ada juga pedagang makanan khas seperti empal gentong, tahu gejrot, dan nasi jamblang di sekitar area pasar. Lengkap banget kan Mah?

Penutup

Nah … Para Mamah MGN alumni ITB suka belanja di mana nih? Yuk! Kita galakkan belanja di pasar tradisional untuk mendukung kemajuan ekonomi masyarakat terutama sektor UMKM. Semoga pasar tradisional bisa ditata lebih bersih, rapi, nyaman, dan aman agar para pengunjung semakin puas ketika berbelanja di sini.

Satu tanggapan »

  1. Haiiiii mbak Dewi 😀 Waaah, seru amat liputan dari pasar ke pasar hahahah. Aku pernah blusukan ke Pasar Triwindu. Hampir beli barang antik tuh suamiku, lampu rambu lalu-lintas jadul eh ga jadi, mahhhhal wkwkwkwk duitnya kurang eits wkwkw. Kalau ke Beringhardjo, anak bungsuku dan papahnya belanja uang kuno.. aku dan si sulung beli daster.

  2. Di Solo, satu-dua kali kayaknya pernah ke pasar tradisional bareng eyang. Tapi tentu saja lebih sering ke pasar tradisional di Bandung, Pasar Kebon Kalapa bareng ibu ketika beliau masih ada. Kenangan saya sih ketika belanja di akhir Ramadhan, seringkali kami ditinggal di tempat obras untuk menunggu calon baju lebaran kami diobras, sementara ibu pergi ke beberapa tempat lain untuk belanja. Setelah itu kami dijemput untuk pulang.

  3. Mba Dewi, keren banget. Saya serasa langsung dibawa ke lokasi pasar tradisional favorit Mba Dewi, yang tersebar di Jogja, Solo, Cirebon, dan Jakarta ini. 🙂

    Terlebih, dokumentasi foto-fotonya juga apik. Semua pasar tersebut, belom pernah saya kunjungi, Mba. Terima kasih banyak informasinya ya Mba Dewi 🙂

  4. Pasar tradisional itu masalahnya kadang-kadang susah parkirannya. Kalau rumah dekat dari pasar sih nggak apa-apa, tapi kalau jauh, jadi dilema mau naik angkutan umum atau gimana. Tapi kebayang rasanya senang juga kalau main ke pasar tradisional buat beli makanan khas di kota itu.

Tinggalkan komentar